Sejarah Kerajaan Sunda (Politik Ekonomi dan Sosial Budaya)

Sejarah Kerajaan Sunda 

Berita tentang kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Barat setelah kerajaan Tarumanegara terdapat dalam naskah Carita Parahyangan, sebuah sumber berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Kerajaan Sunda yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah bagian barat merupakan kerajaan yang bercorak Hindu cukup kuat dan sedikit menerima pengaruh Buddha. 

Dalam Carita Parahyangan diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebut sebagai menantu raja Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda. Pada suatu saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari raja Sena. 

Kemudian Sena dibuang ke Gunung Merapi oleh keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya. Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh.

Sejarah Kerajaan Sunda
Dalam Carita Parahyangan juga disebutkan bahwa Raja Sanjaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil bernama Manunggul, Kahuripan, Kadul, Balitar, Malayu, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Kerajaan-kerajaan tersebut diperkirakan terletak di Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah bagian barat menjadi bagian dari kerajaan Galuh.

Hal yang menarik dari isi Carita Parahyangan ini adalah nama Sena dan Sanjaya. Dua nama ini tercantum juga dalam prasati Canggal (732 M), yang menceritakan asal usul raja pertama dari dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Lama. Dalam prasasti Canggal selain tercantum nama Sanjaya disebutkan juga adanya dua tokoh yaitu, Sanna dan Sanaha. Sanjaya adalah anak Sanaha. 

Membandingkan isi Carita Parahyangan dengan prasasti Canggal, kemungkinan Sanjaya adalah orang yang sama, sedangkan Sanaha dalam prasasti Canggal, kemungkinan Sena dalam Carita Parahyangan. Dengan demikian, di Jawa Barat pada masa itu ada kerajaan yang berpusat di Galuh dengan rajanya Sanjaya.

Prasasti Sahyang Tapak (1030), merupakan sumber lain yang menyebutkan adanya kerajaan di Jawa Barat. Prasasti ini ditemukan di tepian Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi dan berbahasa Jawa Kuno, berhuruf kawi. Dalam prasasti ini disebutkan tentang adanya raja yang bernama Sri Jayabhupati Jayamanahen, Wisnumurti amararijaya, Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramatunggadewa. 

Raja ini dianggap sebagai rangkaian dari raja-raja Sunda sebelumnya. Sri Jayabhupati adalah raja Sunda yang memiliki kekuasaannya di Pakuan Pajajaran. Dia beragama Hindu aliran Waisnawa. Hal ini dapat terlihat dari gelarnya Wisnumurti. Diperkirakan, pusat kerajaan Sunda dipindahkan dari Galuh ke Pakuan Pajajaran di Jawa Barat bagian tengah. Setelah raja Jayabhupati wafat, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi ke Kawali (Ciamis).

Pusat kerajaan pindah ke Kawali, pada masa Raja Rahyang Niskala Wastu Kencana yang menggantikan Sri Jayabhupati. Ia mendirikan keraton Surawisesa, membuat saluran air di sekeliling keraton, dan membangun desa-desa untuk kepentingan rakyatnya. Rahyang Niskala Wastu Kencana dimakamkan di Nusalarang, sedangkan penggantinya Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kancana) dimakamkan di Gunung Tiga.

Menurut Kitab Pararaton dan Carita Parahyangan, Rahyang Dewa Niskala digantikan oleh Sri Baduga Maharaja. Raja ini meninggal setelah tujuh tahun memerintah karena tewas dalam peristiwa Bubat pada tahun 1357, setelah Sri Baduga menolak mengakui kedaulatan Majapahit. Setelah Sri Baduga, kerajaan Sunda selanjutnya diperintah oleh, Hyang Bunisora (1357-1371), Prabu Niskala Wastu Kencana (1371-1374), digantikan oleh anaknya Tohaan di Galuh (1475-1482), Ratu Jayadewata (1482-1521).

Pada masa pemerintahan Ratu Jayadewata yang menurut prasasti Batutulis memerintah di ibu kota lama Pakuan Pajajaran, Kerajaan Sunda mulai terancam oleh orang-orang yang tidak setia pada kerajaan. Mereka adalah penduduk pajajaran yang mulai menganut Islam, terutama yang tinggal di pesisir utara.

Banten dan Cirebon telah berubah menjadi pelabuhan yang dikuasai oleh orang Islam. Merasa khawatir dengan perkembangan baru di pesisir utara, Ratu Jayadewata mengutus Ratu Samiam ke Malaka untuk meminta bantuan pasukan Portugis memerangi orang-orang Islam. Hal ini ditegaskan dalam berita Portugis bahwa pada tahun 1512 dan 1521 datang utusan dari kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Ratu Samiam. Ratu Samiam dalam berita Portugis ini sama dengan Prabu Surawisesa dalam Carita Parahyangan. Prabu Surawisesa menjadi raja dan memerintah tahun 1521-1535.

a. Kehidupan politik Kerajaan Sunda

Sumber sejarah yang penting dalam sejarah tatar sunda adalah Carita Parahyangan yang merupakan sumber yang berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-19. Di dalam carita parahyangan ini diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebutkan pula sebagai menantu raja Sunda yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda (yang dipertuan di Sunda). 

Diceritakan pula bahwa pada suatu saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dari Raja Sena. Kemudian Sena dibuang ke Gunung Merapi oleh keluarganya. Namun setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya. Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh. Kerajaan ini terletak di sebelah barat sungai Citarum.

Pada sumber prasasti yang ditemukan di Sukabumi, tercantum nama Sri Jayabuphati yang merupakan salah satu raja Sunda. Jayabhupati adalah Raja Sunda yang beragama Hindu dan pusat kekuasaannya terletak di Pakuan Pajajaran. Penggantinya yaitu Rahyang Niskala Wastu Kencana memindahkan kerajaannya ke Kawali (Ciamis sekarang) dia tinggal di keraton yang bernama Surawisesa. 

Rahyang Ningrat mengantikan ayahnya yaitu Rahyang Niskala Wastu Kencana yang dilanjutkan kemudian oleh Sri Baduga. Pada masa Sri Baduga terjadi peristiwa besar yaitu perang Bubat yang membuat beliau, putrinya, serta utusan yang ikut serta ke Majapahit tewas. Dengan meninggalnya Sri Baduga, maka pemerintahan dipegang oleh Hyang Bunisora (1357-1371). Bunisora digantikan oleh Prabu Niskala Wastu Kencana yang memerintah hampir 100 tahun lamanya yaitu dari (1371-1474).

Pada masa kerajaan Sunda diperintah oleh Prabu Surawisesa, agama Islam mulai berkembang di Cirebon dan Banten. Hal tersebut membuat Prabu berusaha mencari sekutu untuk memperkuat kedudukannya melawan Islam. Kemudian dia bersekutu dengan Portugis yang sudah berhasil menguasai Malaka. Tindakan tersebut membuat kerajaan Demak di bawah Sultan Trenggono harus mengambil tindakan untuk menghentikan pengaruh Portugis di Jawa.

Oleh karena itu, beliau memerintahkan menantunya yaitu Fatahillah atau dipanggil juga Wong Agung untuk menyerang Portugis di Sunda Kalapa dan menguasai pelabuhan tersebut. Hal itu akan berdampak politik, karena akan semakin membuat Kerajaan Sunda menjadi terisolir dan menghambat atau mungkin menghancurkan kekuatan Portugis yang hendak menguasai Jawa.

Sebelum menguasai Sunda Kalapa, pasukan Demak dan Banten mulai menaklukkan daerah-daerah sekitar Banten dan Sunda Kalapa. Pada pertempuran di Sunda Kalapa antara Demak dan Portugis, Pasukan Fatahillah berhasil menghancurkan Portugis. Lalu, Fatahillah mengubah kota Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Pada masa Raja Nuisya Mulya, Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam, sehingga berakhirlah Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang besar, sampai Majapahit pun sulit dan tidak bisa untuk menaklukannya.

b. Kehidupan ekonomi dan sosial budaya Kerajaan Sunda

Berdasarkan berita yang diperoleh dari bangsa Portugis, kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan Sunda dapat digambarkan. Menurut berita tersebut, ibu kota Kerajaan Sunda terletak di pedalaman, sejauh dua perjalanan dari pesisir pantai utara. Para pedagang dari kerajaan Sunda sudah mampu melakukan transaksi perdagangan dengan pedagang asing dari kerajaan-kerajaan lain, seperti Malaka, Sumatra, Jawa Tengah dan Timur, Makassar. 

Kegiatan perdagangan antarpulau itu didukung oleh pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda yaitu Kelapa, Banten, Pontang, Cigede. Dengan demikian, kegiatan perekonomian pada sektor perdagangan di Kerajaan Sunda cukup maju. Komoditas yang diperdagangkan antara lain: lada, beras, hewan ternak, sayuran, buah-buahan. Untuk mendukung dan kelancaran perdagangan dari pesisir ke pedalaman, maka dibangunlah jalan yang baik.

Selain sektor perdagangan, Kerajaan Sunda pun mengembangkan sektor pertanian yaitu berladang. Watak masyarakat Sunda yang senang berpindah-pindah terlihat dari kegiatan berladang mereka. Tidak heran jika ibu kota Kerajaan Sunda sering berpindah-pindah, hal itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakatnya yang senang berpindah-pindah.

Berdasarkan naskah Sahyang Siksakanda ng Karesian, susunan masyarakat terbagi ke dalam berbagai kelompok ekonomi yaitu: pandai besi, pahuma, penggembala, pemungut pajak, mantri, bhayangkara dan prajurit, kelompok rohani dan cendkiawan, maling, begal, dan copet.

Demikianlah Materi Sejarah Kerajaan Sunda (Politik Ekonomi dan Sosial Budaya), semoga bermanfaat.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url