Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Aceh, Batak, Minangkabau, Jawa, Sunda Dan Bali

Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Aceh, Batak, Minangkabau, Jawa, Sunda Dan Bali - Bangsa Indonesia memiliki satu semboyan yang luar biasa, yakni Bhinneka Tunggal Ika, yang kurang lebih berarti berbeda-beda tetapi satu jua. Semboyan tersebut setidaknya mencerminkan dua hal yang sangat mendasar, yaitu: 

(1) adanya kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari aneka ragam suku bangsa, agama, budaya, adat istiadat, bahasa, dan lains ebagainya.

(2) adanya suatu komitmen bahwa keanekaragaman tersebut membentuk suatu kesatuan yang bulat dan manunggal, yakni bangsa Indonesia. 

Memang, keanekaragaman suku bangsa, agama, budaya, adat istiadat, bahasa, dan sebagainya itu merupakan kekayaan yang tidak ternilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan aset nasional. Adapun keanekaragaman kebudayaan di Indonesia dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:

1. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Aceh

Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Aceh
Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang berada di provinsi Nangro Aceh Darussalam. Tanah Aceh yang sangat subur mendorong sebagian besar masyarakatnya bekerja pada sektor pertanian dengan menanam padi. Di daerah pedesaan sebagian masyarakatnya juga berladang dengan cara menebang dan membakar hutan selain itu masyarakat Aceh juga terkenal dengan peternakan sapi dan kerbau serta perdagangan.

Dalam kehidupan masyarakat Aceh berkembang empat macam bahasa yang berbeda satu sama lain, yaitu: 

(1) Bahasa Gayo Alas, yang digunakan oleh masyarakat Gayo Alas di Aceh Tengah.
(2) Bahasa Aneuk Jamee, yang digunakan oleh masyarakat Aceh Barat dan Aceh Selatan.
(3) Bahasa Tamiang, yang digunakan oleh masyarakat di daerah perbatasan dengan Sumatera Timur.
(4) Bahasa Aceh, yaitu bahasa yang digunakan oleh masyarakat Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, dan sebagian penduduk Aceh Barat.

Aceh merupakan daerah di Indonesia yang pertama kali menerima pengaruh ajaran Islam. Hingga sekarang masyarakat Aceh merupakan penganut agama Islam yang taat. Ajaran-ajaran Islam sangat berpengaruh terhadap sistem kekeluargaan, seperti perkawinan harta waris, dan kematian. Bahkan sekarang ini masyarakat Aceh memberlakukan syariat Islam dalam sistem perundang-undangannya.

Makan bersama dalam kenduri merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam upacara keagamaan. Dalam kegiatan kenduri tersebut undangan biasanya terdiri dari kaum laki-laki. Upacara kenduri dipimpin oleh Teungku atau Teungku meunasah, yakni orangorang yang memiliki pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Seperti yang telah diuraikan tadi, mayoritas masyarakat Aceh merupakan penganut agama Islam yang taat. Masyarakat Aceh beranggapan bahwa perkawinan merupakan suatu keharusan karena dianjurkan oleh ajaran agama. Dalam menentukan jodoh, masyarakat Aceh membutuhkan syarat-syarat, seperti: 

(1) yang mencari jodoh adalah orang tua yang didasarkan atas keturunan dan fungsi sosial dari keluarga gadis.
(2) yang memilih jodoh adalah anak mereka. Sebaliknya, orang tua pihak gadis juga akan menerima atau menolak lamaran dengan pertimbangan yang serupa.

Sistem perkawinan berbentuk matrimonial, yakni suami tinggal bersama-sama di rumah istri sampai keluarga baru tersebut memiliki rumah sendiri. Selama masih tinggal di rumah mertua tersebut, yang memiliki tanggung jawab terhadap rumah tangga adalah pihak mertua (ayah sang istri) tersebut. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih, yakni keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum kawin.

2. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Batak

Masyarakat Batak tersebar di provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Batak terdiri dari tiga subetnis, yakni Batak karo, Batak Toba, dan Batak Simalungun. Pada awalnya masyarakat Batak merupakan pemuja roh-roh, baik roh baik (danyang) maupun roh jahat (kala).

Masyarakat Batak mengembangkan sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal dengan satuan-satuan famili yang dikenal dengan istilah marga. Hubungan kekerabatan dalam satu kakek nenek disebut dengan Sadanini (pada masyarakat Karo) atau Saumpo (pada masyarakat Toba). 

Satuan famili yang terkecil disebut dengan Jabu. Dalam sistem perkawinan, masyarakat Batak memiliki empat macam perkawinan, yakni perkawinan mangali, perkawinan jasa, perkawinan caplok, dan perkawinan rangkat. Kegiatan ekonomi masyarakat Batak pada umumnya adalah bertani, yakni dengan mengerjakan sawah dan ladang. Sistem pengerjaan lahan pertanian tersebut sering dilakukan dengan cara gotong royong satu sama lain.

3. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Minangkabau

Masyarakat Minang tersebar di daerah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu dan sebagian kecil ada di daerah Sumatera Selatan. Ditinjau dari mata pencaharian, sebagian besar masyarakat Minang merupakan masyarakat agraris dengan menanam padi di lembah-lembah yang sangat subur. 
Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Minangkabau
Pertanian Di Perbukitan Danau Maninjau
Daerah-daerah lereng pegunungan juga dimanfaatkan untuk berladang, yakni dengan menanak sayur-sayuran dan palawija. Penduduk yang berada di pinggir danau juga memiliki pekerjaan sambilan sebagai penangkap ikan.

Secara umum, masyarakat Minang merupakan penganut agama Islam yang taat. Hal ini ditunjukkan dalam salah satu falsafah yang berbunyi: “Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah”. Ungkapan tersebut sekaligus menunjukkan betapa eratnya hubungan antara adat dan agama dalam kehidupan masyarakat Minang. 

Salah satu contohnya adalah upacara-upacara adat yang diselenggarakan untuk menandai siklus hidup, seperti: upacara turun tanah (turun mandi), upacara akikah, upacara khitanan, upacara khatam mengaji Al-Qur’an, upacara perkawinan, dan lain sebagainya.

Ditinjau dari sistem kekerabatan, masyarakat Minang menganut sistem matrilineal, yakni suatu sistem kekerabatan yang didasarkan atas keturunan ibu, artinya, seseorang dilihat berdasarkan keluarga ibunya dan bukan dari keluarga ayahnya. Oleh karena itu, seorang ayah berada di luar lingkungan keluarga anak dan istrinya. 

Dengan demikian, keanggotaan di dalam lingkungan keluarga pada masyarakat Minang akan dilihat sebagai berikut: ibu, saudara kandung, saudara perempuan dan saudara laki-laki ibu, anak laki-laki dan anak perempuan saudara perempuan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan dari anak perempuan saudara ibu.

Masyarakat Minang membangun rumah-rumah permukiman yang khas, yakni dikenal dengan istilah rumah Gadang. Rumah Gadang dibangun dengan atap meruncing dengan lantai panggung yang kokoh. Disamping itu, dalam kehidupan masyarakat Minang tercipta benda-benda seni yang khas, seperti kain adat, selendang, sarung, sajadah, seni terbang, seni samroh. Kesenian tersebut diwariskan dan sekaligus dilestarikan secara turun temurun.

4. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Jawa

Daerah kebudayaan Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Ditinjau dari sudut mata pencaharian, masyarakat Jawa memiliki pekerjaan yang sangat bervariasi, yakni pertanian, peternakan, perikanan, industri, jasa, dan lain-lain. Di beberapa daerah pantai, seperti di Cirebon, Cilacap, Semarang, Rembang, Tuban, Gresik, dan Banyuwangi, sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai nelayan. Sedangkan di daerah dataran rendah dan di perbukitan masyarakat Jawa pada umumnya bekerja sebagai petani dan peternak. Sedangkan masyarakat perkotaan memilih bekerja di sektor perdagangan, industri, dan jasa.

Secara kekerabatan, masyarakat Jawa mengembangkan prinsip keturunan bilateral. Ditinjau dari istilah kekerabatannya, sistem klasifikasi kekerabatannya didasarkan atas angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki dan kakak perempuan dari ayah maupun ibu beserta istri dan suaminya masing-masing diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah Siwa atau Uwa. 

Selanjutnya, semua adik laki-laki dan perampuan dari ayah maupun ibu beserta istri dan suaminya masing-masing dibedakan menurut jenis kelamin menjadi paman untuk lakilaki dan bibi untuk perempuan. Dalam kehidupan masyarakat berkembang adat istiadat sungkan perkawinan jika keduanya merupakan saudara kandung atau dikenal dengan istilah pancer lanang.

Dalam hal kesenian, terdapat pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan asli. Dengan demikian, kebudayaan Jawa merupakan salah satu wujud akulturasi. Kebudayaan Jawa yang berupa kesenian antara lain adalah wayang, ketoprak, ludruk, dan lain sebagainya.

5. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Sunda

Masyarakat Sunda merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa Barat dan secara turun temurun menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan ekonomi masyarakat Sunda sudah terlalu kompleks, tetapi sebagian besar masyarakatnya masih bekerja dalam bidang pertanian, peternakan, industri, perdagangan, dan jasa lainnya.

Sistem kekerabatan pada masyarakat Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan kemudian diperkaya dengan pengaruh ajaran Islam. Antara adat dan ajaran Islam telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Sunda. Misalnya dalam hal perkawinan, masyarakat Sunda menyelenggarakannya menurut adat istiadat dan sekaligus menurut ajaran agama Islam.

Pada masyarakat pedesaan yang masih berpegang teguh pada ajaran agama, berkembang moralitas perkawinan yang mantap, seperti yang terungkap dalam kata-kata: “Lamun nyiar jodo kudu kakupuna” artinya: kalau mencari jodoh harus kepada orang yang sesuai dengan segalanya, baik rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Adalagi kata-kata lainnya seperti: “Lamun nyian jodo kudu kanu sawaja sabeusi” artinya: kalau mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal.

Dalam upaya mencari jodoh tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak, baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Dimulai dengan cara-cara yang tidak serius, sambil bergurau antara kedua belah pihak yang bertempat di mana saja. Jika ada kecocokan, maka pembicaraan diteruskan dengan acara neundeun omong, yang berarti menaruh perkataan.

Kemudian antara kedua belah pihak saling melakukan pengamatan dan penyelidikan secara maksimal. Jika kedua belah pihak terdapat kesepakatan acara akan diteruskan dengan pinangan atau pelamaran dengan menggunakan tata cara khusus. Segera setelah itu terjadi persiapan-persiapan untuk upacara pernikahan.

Dalam kehidupan masyarakat Sunda, keluarga yang terpenting adalah keluarga batih, yakni keluarga inti. Selain keluarga batih terdapat juga sekelompok kerabat sekitar keluarganya yang menjalin hubungan kekerabatan. Kelompok ini dikenal dengan istilah golongan. Golongan inilah yang akan diudang dalam upacara-upacara penting seperti khitanan, perkawinan, dan sebagainya.

Prinsip garis keturunan dalam kehidupan masyarakat Sunda adalah bersifat bilateral, yakni garis keturunan yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis laki-laki maupun perempuan. Masyarakat Sunda mengenal istilah-istilah untuk tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah. 

Tujuh generasi ke atas adalah: kolot, embah, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Sedangkan tujuh generasi ke bawah adalah: anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, dan gantung siwur.

Bahasa Sunda mengandung kesusastraan yang kaya. Bentuk sastra Sunda yang tertua adalah pantun, yakni berisi tentang cerita kepahlawanan nenek moyang masyarakat Sunda dalam bentuk puisi yang diselingi dengan prosa. Selain itu berkembang juga kesenian wayang, dan wawacan. Cerita-cerita wayang pada umumnya berasal dari epos Ramayana dan Mahabarata. Sedangkan cerita wawacan banyak diambil dari cerita-cerita Islam.

6. Keanekaragaman Masyarakat dan Kebudayaan Bali

Masyarakat Bali merupakan masyarakat yang mendiami pulau Bali dan beberapa pulau kecil yang ada di sekitarnya. Sebagian besar di antara mereka beragama Hindu-Bali, sedangkan sebagian kecil lainnya beragama Islam, Kristen, dan Budha.

Dalam kehidupan masyarakat Bali, perkawinan dianggap merupakan peristiwa yang sangat penting. Pada saat perkawinanah seseorang dianggap telah menjadi warga masyarakat secara penuh. Dengan menjadi warga masyarakat secara penuh berarti akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai warga dari kelompok kerabat. 

Pada masyarakat Bali yang berpegang teguh pada adat istiadat, di antaranya adalah sistem klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan sedapat mungkin dilakukan di antara mereja yang sederajat, baik dalam klen maupun dalam kasta. Perkawinan adat Bali bersifat endogamy klen. Perkawinan yang paling dikehendaki oleh masyarakat Bali tradisional adalah perkawinan anak-anak dari dua saudara laki-laki.

Selain memiliki keindahan alam yang luar biasa, masyarakat Bali juga mengembangkan seni budaya yang tinggi dan beraneka macam. Oleh karena itu, banyak wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing, yang berkunjung untuk menikmati keindahannya. Demikian juga, banyak pelajar yang menjadikan fenomena Bali sebagai objek penelitiannya. Beberapa contoh seni budaya masyarakat Bali adalah wayang, barong, tari jangerm, tari legong, dan lain-lain.

Ditinjau dari segi mata pencaharian, sebagian besar masyarakat Bali bekerja di sektor pertanian. Dalam mengembangkan pertanian, masyarakat Bali memiliki sistem pengairan yang sangat khas yang disebut dengan istilah subak. Subak memiliki pengurus yang dikepalai oleh Klian Subak serta pengurus-pengurus lainnya yang mengatur pengairan serta penanaman padi pada lahan-lahan tertentu.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url