Dampak Negatif Pembangunan

Penjelasan Dampak Negatif Pembangunan 

Dalam proses pembangunan sering kali kegiatan manusia menimbulkan dampak negatif yang merugikan lingkungan hidup. Jadi, selain menyejahterakan penduduk, pembangunan dapat menyebabkan degradasi kualitas lingkungan. Kegiatan pembangunan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan membuat sejumlah sumber daya alam semakin menipis.

Penggundulan hutan (deforestation), penggersangan lahan (desertification), pencemaran (pollution), pemanasan global (global warming), dan penipisan lapisan ozon (depletion of ozone layer) adalah bentuk dari degradasi atau penurunan kualitas lingkungan.

Dampak degradasi kualitas lingkungan dapat dirasakan penduduk pada tingkat lokal, regional, maupun global. Berikut hal-hal yang menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan.

1. Penggundulan Hutan (Deforestation)

Perusakan dan penebangan hutan secara permanen merupakan tindakan yang menyebabkan hutan gundul. Penebangan hutan sudah dilakukan penduduk selama berabad-abad. Hanya saja, dalam 50 tahun terakhir ini kerusakannya mulai dirasakan. Diperkirakan, hutan yang hilang setiap hari seluas 400.000 hektare. Sedang di Indonesia, setiap tahun luas hutan berkurang sebanyak 1,6 juta hektare. 

Seandainya 1 hektare = 1 lapangan sepak bola, dapat dibayangkan betapa cepat hutan hilang dari wilayah Indonesia. Yang lebih memprihatinkan, kebanyakan kerusakan hutan terjadi di wilayah hutan hujan tropis, termasuk hutan Papua, Sumatra, dan Kalimantan. Banyak faktor yang mendorong masyarakat melakukan penggundulan hutan. Dorongan ekonomi cukup berperan dalam hal ini.

a. Pembangunan Permukiman

Pembangunan permukiman baru sering dilakukan dengan cara membuka lahan hutan. Daerah transmigrasi disiapkan untuk ditempati para transmigran agar dapat membangun lingkungan barunya. Lahan transmigran disiapkan di daerah tertentu dengan cara membuka hutan. Selain disediakan rumah-rumah dan lahan pekarangan, fasilitas prasarana transportasi juga disiapkan untuk para transmigran. Jalan-jalan dibuat untuk menghubungkan dengan daerah luar. Di Indonesia, penyediaan lahan transmigrasi disiapkan untuk menempatkan jutaan penduduk dari Jawa dan wilayah lain yang berpenduduk padat.

Dampak Negatif Pembangunan
Perluasan Lahan Pertanian

b. Perluasan Lahan Pertanian

Di Amerika Selatan, pertanian tanaman pangan dan penggembalaan ternak yang membutuhkan lahan luas menimbulkan banyak kerusakan hutan. Sebagai bukti, sekitar 2/3 luas hutan telah rusak. Kebanyakan lahan gundul di wilayah ini pada beberapa dekade terakhir disebabkan oleh pengembangan dan peternakan hewan besar serta perluasan lahan perkebunan. 

Lahan di wilayah ini tidak cocok untuk pertanian dan peternakan karena kurang subur. Lebih lanjut, lahan pertanian yang dikerjakan intensif tanpa periode jeda telah mempercepat proses degradasi tanah. Kandungan unsur hara dalam tanah menyusut secara cepat dalam beberapa tahun. Penggundulan lahan juga mempercepat degradasi lahan. Di Indonesia, kegiatan perladangan berpindah dituding turut menciptakan hutan gundul.

c. Penggunaan Bahan Bakar Kayu

Pohon-pohon hutan dapat dijadikan kayu bakar. Pemanfaatan kayu sebagai sumber energi terutama terjadi di negara-negara berkembang seperti Etiopia dan Burkina Faso di Afrika. Di negara tersebut bahan bakar kayu mengambil porsi lebih dari 90% dari seluruh energi yang digunakan. Diperkirakan kebutuhan bahan bakar kayu pada tahun 2025 menjadi dua kali dari pasokan yang kini tersedia. Peningkatan jumlah penduduk menambah tekanan pada luas lahan hutan. Tekanan akibat peningkatan jumlah penduduk akan memperluas penggundulan hutan. Hal ini disebabkan kemampuan regenerasi hutan lebih lambat dibanding kerusakan hutan serta peningkatan kebutuhan penduduk.

d. Pembalakan

Pembalakan yang tidak terkendali menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Kegiatan pembalakan telah mengubah lahan hutan menjadi gundul secara cepat. Fungsi hutan sebagai penutup dan pelindung tanah menjadi hilang. Hujan dan angin mudah mengerosi tanah yang terbuka. Pohon-pohon yang tersisa akan tumbang oleh angin karena tanah tempat tumbuh akar sudah terkikis. Pada lahan yang terbuka, sinar matahari menyinari langsung sehingga tanah menjadi kering, tidak subur, dan sulit diolah.

Selanjutnya, kayu-kayu gelondongan hasil pembalakan diangkut keluar dari hutan melalui jalan yang dibuat dengan melintasi tengah hutan. Pengangkutan kayu-kayu gelondongan dari tengah hutan menyebabkan banyak kerusakan pohon-pohon pada jalur lintasan yang dilalui truk pengangkut. Alat-alat berat, seperti traktor dan buldozer juga menghancurkan vegetasi dan memadatkan tanah yang dilindasnya. Tanah yang padat sulit menyerap air hujan sehingga menghambat vegetasi untuk tumbuh kembali.

Kerusakan hutan Indonesia termasuk yang tercepat di dunia. Dalam setahun, hutan yang rusak mencapai 1,6 juta hektare atau seluas 3 hektare per menit. Ini berarti hutan yang gundul akibat pembalakan dalam satu menit sama dengan enam kali luas lapangan sepak bola. Dapat dibayangkan betapa hebat dampak dari pembalakan terhadap kerusakan hutan.

e. Penambangan Terbuka/Permukaan

Bahan tambang perlu dikeluarkan dari dalam Bumi agar dapat bermanfaat bagi manusia. Sebagai contoh, batu bara ditambang untuk bahan bakar pembangkit listrik. Lahan yang banyak mengandung cadangan batu bara kebanyakan masih berupa hutan. Untuk mendapatkan batu bara, cara yang umum dilakukan di Indonesia adalah dengan penambangan terbuka/permukaan (open-cut/surface mining).

Metode penambangan terbuka menyebabkan lahan hutan yang ditebangi semakin meluas. Akibatnya, hutan menjadi gundul dan permukaan lahan menjadi rusak. Kerusakan lahan hutan akibat kegiatan penambangan terbuka perlu perbaikan yang sungguh-sungguh, yaitu dengan reklamasi dan penghijauan kembali. Jika tidak, banyak lubang raksasa dan bopeng-bopeng di permukaan lahan bekas tambang serta lahan gundul menimbulkan degradasi lingkungan yang serius.

2. Penggersangan Lahan (Desertification)

Penggersangan lahan banyak terjadi di wilayah beriklim kering (arid) dan setengah kering (semiarid). Degradasi lahan di wilayah ini menyebabkan terbentuknya gurun. Ini berarti, telah terjadi kerusakan lahan secara meluas yang menyebabkan vegetasi tidak dapat tumbuh.

Seperti halnya penggundulan hutan, penggersangan lahan merupakan masalah lingkungan pada dekade sekarang. Selama berabad-abad para penggembala ternak berpindah-pindah menjelajahi padang gembala bersama-sama ternaknya. Cara hidup mereka memberi sedikit pengaruh terhadap kerusakan lahan. Akan tetapi, bila kegiatan ini digabung dengan kerusakan lahan secara alami, maka akan berpengaruh besar terhadap pembentukan lahan gersang pada suatu wilayah. Beberapa penyebab penggersangan lahan sebagai berikut.

a. Proses Alamiah

Musim kering secara berkala berlangsung di wilayah semiarid. Kekeringan pada musim kering memang tidak menimbulkan lahan gersang. Tetapi, jika kekeringan diperburuk oleh kesalahan praktik-praktik pertanian dan jumlah penduduk yang berlebihan maka dapat menimbulkan kerusakan lahan di wilayah semiarid.

b. Kegiatan Pertanian

Pertumbuhan penduduk di wilayah semiarid biasanya diikuti oleh kegiatan pertanian yang meningkat. Praktik-praktik pertanian yang buruk dengan menanami lahan secara terus-menerus tanpa jeda memang mampu meningkatkan hasil panen. Hanya saja, keadaan ini akan mempercepat penurunan kesuburan lahan. Lahan yang sudah tidak subur kemudian ditinggalkan. Vegetasi alami tidak dapat tumbuh dan berkembang biak pada lahan gersang karena tanah kekurangan makanan (unsur hara).

Jumlah dan ukuran hewan ternak memengaruhi kebutuhan pakan. Pertambahan jumlah hewan ternak telah meningkatkan kebutuhan ladang penggembalaan untuk merumput. Hewan gembalaan juga menginjak-injak lahan dan memakan rumput yang tinggal sedikit. Lahan yang habis rumputnya dapat kembali pulih setelah ditinggalkan dan diberi cukup kesempatan untuk tumbuh. Akan tetapi, hal ini sulit terwujud karena hewan gembalaan yang telah meninggalkan ladang penggembalaan digantikan oleh hewan gembalaan yang lain.

c. Penggunaan Teknologi

Penggersangan di wilayah semiarid dapat ditimbulkan oleh pemanfaatan teknologi irigasi modern. Di wilayah Afrika banyak sumur bor yang disediakan bagi para penggembala dibuat untuk mendapatkan air tanah. Sumur-sumur ini telah menarik para penggembala dan hewan gembalaannya untuk minum dan merumput. Kemudahan mendapatkan air menyebabkan para penggembala tinggal di wilayah itu. 

Kaki-kaki hewan gembalaan yang menginjak-injak tanah turut menekan lahan dan memadatkan tanah. Jadi, degradasi lahan telah diperburuk oleh hewan-hewan gembala yang menginjak-injak lahan subur di lingkungan sekitar. Sebenarnya jika penggembalaan dilakukan dengan sistem rotasi seperti pada penanaman tanaman pertanian, risiko kerusakan tanah bisa diperkecil. Kerusakan tanah bisa diperkecil. Lahan dibiarkan istirahat agar vegetasi alami bisa tumbuh kembali, akhirnya pengembalian ketersediaan unsur hara dalam tanah berlangsung lebih cepat.

d. Vegetasi Berkurang

Peningkatan jumlah hewan dan manusia memengaruhi penurunan jumlah vegetasi. Kegiatan pencarian kayu bakar dan hewan-hewan gembala yang merumput menyebabkan jumlah vegetasi berkurang dengan cepat. Ketika lahan menjadi gundul dan terbuka karena tumbuhan penutupnya hilang, maka angin dan hujan mudah mengerosi lapisan tanah atas yang subur. Lahan yang tererosi tidak dapat menahan dan meresapkan air hujan ke dalam tanah. Kondisi ini menimbulkan lahan gersang sehingga vegetasi tidak dapat tumbuh subur dan lahan menjadi sepi dari kehidupan.

3. Pencemaran

Pencemaran terjadi bila material sampah dan bahan tidak berguna dibuang di lingkungan sekitar. Pencemaran menimbulkan dampak kerusakan atau ketidaknyamanan bagi manusia, hewan, tumbuhan, bangunan, dan komponen lingkungan lain. Sebelum terjadi Revolusi Hijau, masalah pencemaran terbatas pada skala lokal. Setelah beberapa tahun kemudian, peningkatan pencemaran menjadi masalah global. Pencemaran dapat terjadi pada tanah, air, dan udara.

a. Pencemaran Tanah

Pencemaran tanah dapat disebabkan oleh sampah rumah tangga dan timbunan material sampah yang tidak dikelola. Sistem pembuangan dan pengolahan sampah diperlukan untuk mengelola sampah yang dihasilkan oleh kegiatan manusia setiap hari. Sampah rumah tangga yang tidak dikelola dengan baik dapat mendatangkan penyakit seperti diare dan disentri.

Di banyak negara, pembuangan sampah dilakukan dengan mengubur dalam lubang (landfill). Metode ini cukup efektif. Hanya saja, bahan kimia beracun yang berbahaya dapat merembes keluar dari lubang penimbunan dan mencemari tanah. Beberapa negara lebih suka membuang sampah dengan cara dibakar. Metode pembakaran memungkinkan sampah padat melepas zat kimia beracun ke udara ketika pembakaran berlangsung.

b. Pencemaran Air

Pencemaran air menyebabkan penurunan kualitas air dan membahayakan makhluk hidup. Di beberapa negara berkembang, pembuangan limbah air dan sampah langsung ke sungai dan laut merupakan pemandangan yang sering dijumpai. Air pada saluran pembuangan juga digunakan untuk keperluan minum, memasak, mandi, dan mencuci pakaian. Keadaan ini sangat memungkinkan timbulnya penyakit dan tingkat kematian bayi yang tinggi. Bahan pencemar dari sampah yang tidak membusuk seperti plastik dan karet dapat terdampar dan menumpuk di sepanjang pantai.

Selain sampah, sumber pencemaran air yang lain adalah minyak dari kapal tanker dan industri. Tumpahan minyak yang berasal dari kecelakaan kapal tanker merusak ekosistem laut dan mematikan ribuan ikan, burung, dan hewan lain. Perairan laut menjadi tercemar, pariwisata pantai terganggu, dan kesehatan penduduk menurun. Kadang-kadang minyak yang mencemari laut dapat juga berasal dari kapal, pelabuhan, dan industri yang berada di dekat laut.

Kegiatan pertanian turut menyumbang pencemaran air permukaan dan air tanah. Penggunaan pupuk kimia yang meningkat telah menyebabkan masalah pencemaran air semakin meluas dari sebelumnya. Bahan kimia dalam tanah merembes ke dalam air tanah dan mencemarinya. Ketika hujan berlangsung, bahan kimia dalam tanah juga larut menuju sistem sungai. Bahan kimia ini memacu pertumbuhan alga dan plankton dengan cepat.

c. Pencemaran Udara

Pencemaran udara paling mudah menyebar. Pembakaran bahan bakar fosil menjadi penyebab utama pencemaran udara, khususnya berasal dari kendaraan bermotor, industri, dan pembangkit listrik. Sejumlah besar bahan pencemar dilepaskan ke atmosfer sejak Revolusi Industri. Partikel asap dan gas seperti sulfur oksida (SOx), karbon monoksida (CO), dan karbon dioksida (CO2) dihasilkan dari proses pengolahan atau manufaktur.

Kendaraan bermotor mengeluarkan nitrogen oksida (NOx) yang kemudian menjadi asap setelah bereaksi dengan sinar ultraviolet. Asap ini dapat menyebabkan sesak napas dan pedih di mata. Pembakaran hutan dan kayu bakar juga menyebabkan pencemaran udara. Asap dari pembakaran hutan Indonesia, terutama dari Sumatera dan Kalimantan setiap tahun menjadi masalah bagi negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. 

Asap membatasi jarak pandang sehingga lalu lintas kendaraan bermotor dan penerbangan terganggu. Asap hasil pembakaran hutan juga dapat mengganggu pernapasan. Sedang di perkotaan pencemaran udara banyak ditimbulkan oleh industri dan kendaraan bermotor. 

Gas dari batu bara dan kayu bakar yang tidak terbakar habis, asap jelaga, debu, karbon monoksida, dan gas hidrokarbon banyak dilepaskan ke udara dan mencemarinya. Bahan pencemar ini menyebabkan iritasi mata, gangguan jalan napas, dan meningkatkan penyakit kanker paru-paru dalam jangka panjang.

4. Pemanasan Global

Atmosfer yang menyelubungi Bumi berperan penting bagi kehidupan di Bumi. Seandainya Bumi tidak memiliki atmosfer maka semua kehidupan akan musnah terbakar sinar matahari. Bumi memiliki mekanisme alamiah menjaga kehangatan agar kehidupan tetap berlangsung. Mekanisme ini dikenal dengan efek rumah kaca (green house effect). 

Gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), uap air (H2O), metana (NH4), nitrogen oksida (NOx) terdapat secara alamiah di atmosfer. Gas-gas tersebut menahan panas sinar Matahari dan menjaga kestabilan temperatur Bumi sekitar 15°C.

Pada tahun-tahun terakhir ini telah terjadi kenaikan temperatur udara. Kenaikan temperatur ini disebabkan oleh peningkatan sejumlah gas-gas rumah kaca di atmosfer. Kenaikan temperatur di seluruh permukaan Bumi dikenal dengan pemanasan global (global warning). 

Ada dua jenis kegiatan manusia yang menyebabkannya, yaitu industri dan pertanian.

a. Industri

Pembakaran bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi telah meningkatkan gas-gas rumah kaca. Pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar minyak bumi dan batu bara, serta mesin-mesin kendaraan bermotor banyak melepaskan sejumlah gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen oksida (NOx) ke atmosfer. 

Penggunaan Klorofluorokarbon/KFK (Chlorofluorocarbon (CFC) pada penyejuk udara (air conditioner) dan lemari es (refrigerator) menjadikan gas KFK ikut dilepaskan ke atmosfer. Gas KFK juga dilepaskan ke udara pada saat lemari es dan air conditioner rusak dan ditumpuk sebagai sampah. Lebih jauh, pemanasan global ini mengakibatkan penipisan lapisan ozon.

b. Pertanian

Pertanian berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam dan penggembalaan. Kegiatan penanaman di sawah dan penggembalaan ternak menghasilkan gas metana (CH4) yang dilepaskan ke atmosfer. Nitrogen oksida (NOx) dilepaskan ke atmosfer ketika pupuk yang mengandung nitrogen digunakan dalam pertanian. 

Karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari pembakaran bahan organik seperti kayu dan kotoran hewan juga dilepaskan ke atmosfer. Penggundulan hutan secara ekstensif untuk pembukaan lahan pertanian turut mengurangi kemampuan tanah dalam mengubah karbon dioksida di atmosfer.

Kegiatan pertanian telah mengubah komposisi gas-gas dan rumah kaca dan menambah panas atmosfer. Temperatur atmosfer yang lebih tinggi dapat melelehkan lapisan es di kutub dan gletser. Penambahan panas di Bumi juga meningkatkan temperatur air dan menyebabkan permukaan air laut naik. Diperkirakan, kenaikan temperatur global sebesar 4°C akan menambah ketinggian laut antara 6,5–16,5 meter.
Kandungan gas karbon dioksida(CO2) di atmosfer hanya 0,03%, tetapi menjadi gas yang paling berpengaruh terhadap efek rumah kaca. Diperkirakan kandungannya meningkat lebih dari 25% dalam 1,5 abad terakhir. Selama rentang waktu tersebut temperatur permukaan Bumi telah meningkat sekitar 0,7°C. Para ahli memperkirakan temperatur akan meningkat 1–3,5°C pada abad mendatang.
Banyak kota-kota besar di dunia berada di dataran pantai yang rendah. Sumber-sumber makanan penting untuk mencukupi kebutuhan pangan banyak dihasilkan dari daerah delta dan dataran banjir. Kenaikan permukaan laut akan menggenangi daerah-daerah kota itu dan menyebabkan kerusakan besar dan mematikan kehidupan.

Demikianlah Materi Penjelasan Dampak Negatif Pembangunan, semoga bermanfaat.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url