Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu Buddha dan Islam

Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu Buddha dan Islam 

Pada zaman Purba sistem kepercayaan dari zaman Megalitikum yang berdasarkan atas animisme, totemisme, dinamisme, dan manisme tetap berkembang meskipun datang pengaruh Hindu dan Buddha. Dengan masuknya agama Hindu dan Buddha terjadilah asimilasi kepercayaan asli dengan agama Hindu dan Buddha sehingga melahirkan agama Hindu dan Buddha bercorak khas Indonesia. 

Dalam seni bangun, terutama seni bangun candi sangat dipengaruhi oleh seni bangun pundek berundak dari zaman Megalitikum. Arca-arca nenek moyang yang yang terdapat di candi, perwujudannya dilukiskan sebagai dewa-dewa Hindu dan Buddha.

Demikian juga pertunjukan wayang yang awalnya merupakan upacara pemujaan arwah telah bercampur dengan cerita Ramayana dan Mahabarata. Pada zaman Madya, yakni ketika datang pengaruh Islam (yang berlangsung pada abad ke-7 sampai dengan abad ke-13) maka agama Islam pun masuk ke Indonesia. 

Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu Buddha dan Islam
Islam semula mempengaruhi daerah-daerah pantai melalui jalur perdagangan, kemudian berkembang ke daerah-daerah pedalaman. Seperti halnya pengaruh agama Hindu dan Buddha maka Islam pun berasimilasi dengan kepercayaan asli dan dipengaruhi oleh agama Hindu Buddha yang telah muncul lerbih dahulu.

Dengan demikian, sampai dengan datangnya pengaruh Islam dan kemudian muncul kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam terjadi proses percampuran antara kepercayaan lokal (anismisme, totemisme, dinamisme, dan manisme) dengan agama Hindu Buddha, dan agama Islam. Dalam perkembangannya di wilayah kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam jika dilihat dari peta keagamaan, terdapat masyarakat yang menganut agama Islam, Hindu, Buddha, dan juga kepercayaan asli. Bahkan, terdapat percampuran antara kepercayaan Hindu Buddha dengan kepercayaan asli atau kepercayaan Islam dengan kepercayaan asli, atau antara kepercayaan asli dengan kepercayaan Hindu Buddha dan Islam.

1. Konsep Kekuasaan di Kerajaan-kerajaan Bercorak Hindu atau Buddha

Sejak zaman Prasejarah, yakni sebelum masuknya pengaruh Hindu Buddha, sebenarnya telah terdapat semacam pola atau sistem tertentu dalam hubungan antara "pemimpin" dan "rakyat". Pada zaman Megalitikum telah terdapat struktur pemerintahan yang sederhana. Seorang pemimpin masyarakat yang kurang lebih setingkat dengan desa dipilih berdasarkan asas primus interpares, artinya pemimpin dipilih dari orang yang memiliki kelebihan dan keunggulan dari yang lain (disegani dan sakti) sehingga mampu melindungi dan mengayomi masyarakatnya.

Dengan adanya pengaruh Hindu Buddha dari India menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap kebudayaan Indonesia asli. Pengaruh Hindu Buddha bukan saja mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman Sejarah, tetapi juga membawa perubahan dalam susunan masyarakatnya, yakni timbulnya kedudukan raja dan bentuk pemerintahan kerajaan. Dengan demikian, pola kepemimpinan yang ada kemudian meningkat menjadi sistem kerajaan. Itulah sebabnya kemudian muncul sebutan raja. Untuk memperkuat kedudukan raja maka ada kebiasaan untuk mengundang brahmana untuk pentasbihan (abhiseka= penobatan), dan sekaligus menjadikannya sebagai penasihat spiritual raja.

Selanjutnya untuk menjaga kelestarian suatu kekuasaan maka muncul prinsip geneology kinship (keturuan). Artinya yang berhak menjadi raja adalah keturunannya. Di samping itu, menurut konsep Jawa orang yang menjadi raja ialah orang yang mendapatkan "wahyu". Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan raja itu datangnya dari "atas" (Dewa = Tuhan). Dengan berlandaskan ajaran Hindu Buddha maka muncullah "kultus dewa raja", dalam pengertian kekuasaan raja seperti dewa. Raja dianggap sebagai penjilmaan dewa sehingga apa yang dikatakan raja adalah benar, "sabda pandita ratu datan kena wola-wali".

Dengan demikian, pengaruh Hindu–Buddha turut membentuk konsep kekuasaan yang berpusat pada raja dan muncullah "kultus dewa raja". Kekusaan raja sangatlah besar, raja berwenang memerintah seluruh negara (menang wisesa sa nagari). Di balik kekuasaannya yang besar raja juga harus mengimbangi dengan kewajibannya yang besar pula, yakni mampu melindungi rakyatnya sehingga tercipta kedamaian dan ketentraman. 

Oleh karena itu, kemudian muncul suatu konsep tentang idealnya seorang raja, yakni harus memiliki sifat "astabrata" atau delapan kebajikan sebagai seorang pemimpin seperti yang dimiliki oleh delapan dewa dalam kepercayaan Hindu, seperti berikt ini:

a. memiliki jiwa dermawan, sifat Dewa Indra;
b. memiliki kemampuan untuk menekan semua kejahatan, sifat Dewa Yama;
c. memiliki kebijaksanaan, sifat Dewa Surya;
d. memiliki sifat kasih sayang, welas asih terhadap rakyat, sifat Dewa Candra;
e. memiliki pandangan yang luas dan tajam, sifat Dewa Bayu;
f. mampu menciptakan keamanan, ketenteraman dan kesejerahteraan, sifat Dewa Kuwera;
g. mampu menghadapi berbagai macam kesulitan, sifat Dewa Baruna;
h. memiliki keberanian yang menyala-nyala dan tekad yang bulat, sifat Dewa Brahma.

2. Konsep Kekuasaan di Kerajaan-Kerajaan Islam

Jika masa Hindu–Buddha, konsep kekuasaan diwarnai oleh nilai-nilai religius Hindu–Buddha sehingga muncul kultus dewa raja maka pada masa kerajaan-kerajaan Islam, konsep kekuasaan juga diwarnai nilai-nilai religus, yakni islamisme. Raja pada masa kerajaan-kerajaan Islam menggunakan gelar sultan atau susuhunan. Sultan adalah istilah dalam bahasa Arab yang jika di indonesiakan sama dengan raja yakni penguasa kerajaan. Susuhunan dari kata suhun yang artinya terhormat, disembah/dipuji.

Jika pada masa Hindu–Buddha para brahmana berperan sebagai penasihat raja maka pada masa Islam yang menjadi penasihat raja ialah pada wali/sunan atau kiai. Raja pada masa Islam juga memiliki kekuasaan yang besar sepertipada masa kerajaan-kerajaan Hindu–Buddha. Bahkan, untuk raja-raja Jawa umumnya dan Mataram Islam khususnya, muncul konsep keagung-binatharaan. 

Dalam dunia pewayangan kekuasaan yang besar itu bisa digambarkan sebagai gung binathara bau dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). Raja tidak hanya berkuasa di bidang politik, tetapi juga di bidang agama sehingga muncul gelar Sayidin Panatagama.

Raja yang dikatakan baik adalah raja yng menjalankan kekuasaannya dalam keseimbangan antara kewenangannya yang besar dan kewajibannya yang besar juga. Konsep itulah yang disebut keagungbinatharaan, yakni berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta, (meluap budi luhur mulia dan sikap adilnya terhadap sesama). 

Selain itu, tugas raja adalah anjaga tata titi tentreming praja (menjaga keteraturan dan ketenteraman hidup rakyat) supaya tercapai suasana karta tuwin raharja (aman dan sejahtera). Jika diibaratkan sama dengan konsep Hindu Buddha berupa astabrata. Selanjutnya, untuk pembinaan kekuasaan dilakukan dengan menyusun silsilah (silsilah politik) sebagai garis keturunan yang berhak menggantikan takhta kerajaan.

Demikianlah materi Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu Buddha dan Islam, semoga bermanfaat.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url